 |
Pesisir utara Pulau Ambon |
Setelah sebelumnya bagian tenggara dari pulau Ambon kami jelajahi, kini giliran area pesisir utara yang kami eksplorasi. Pertama-tama, kami meluncur ke Negeri Hunut terlebih dahulu yang merupakan salah satu akses darat ke pesisir utara. Akses darat lainnya adalah melalui jalan provinsi yang mengitari Jazirah Leihitu, searah jarum jam melewati Bandara Pattimura di Laha dan yang melawan arah jarum jam melalui Liang.
Untuk ke Hunut sendiri, ada dua rute dari Ambon, yaitu melalui jalan utama via Passo maupun lewat Galala-Poka dengan menggunakan kapal feri. Kami memilih opsi yang kedua karena tujuannya memang untuk jalan-jalan.
Penyeberangan feri di Teluk Ambon ini sangat populer di kalangan masyarakat setempat khususnya mahasiswa karena lokasi kampus utama Universitas Pattimura ada di Poka. Lagipula pada saat itu naik feri Galala-Poka merupakan cara tercepat untuk ke bandara dari Kota Ambon yang jaraknya 30km. Jasa penyeberangan dilayani oleh tiga kapal; KMP Gabus, KMP Tenggiri dan KMP Teluk Ambon, beroperasi dari jam 7 pagi hingga jam 7 malam setiap harinya. Ongkosnya sebesar Rp 20,000 per mobil. [Update] Pada tahun 2016, penyeberangan ini resmi ditutup menyusul beroperasinya Jembatan Merah Putih.
Di dekat tanjung, terdapat Benteng Kapahaha yang pernah menjadi markas penting pejuang setempat dalam usaha melawan Belanda. Benteng ini akhirnya jatuh ke tangan musuh dan dibakar habis. Kami hanya melihat papan petunjuk ke benteng ini tapi kami tidak pernah benar-benar sampai ke situs benteng karena benteng ini adalah benteng alam yang sudah dihancurleburkan jadi mungkin memang sudah tidak terlihat apa-apa lagi di sana.
Selain Benteng Kapahaha, ada banyak tempat atraksi lainnya di area Tanjung Setan yang kebanyakan adalah pantai-pantai perawan, namun karena kondisi jalan provinsi ke arah Liang yang kurang baik akibat longsor, kami mundur dan kembali melewati dua negeri di pesisir utara pulau yang ketika berangkat ke Tanjung Setan tadi sudah kami lintasi, yaitu Mamala dan Morela. Desa-desa ini mempunyai ritual unik bernama Baku Pukul Manyapu dimana empat puluh laki-laki dalam dua kelompok yang berbeda akan saling mencambuk satu sama lain. Anehnya, mereka tidak akan merasakan sakit meskipun berdarah. Saat itu sudah tinggal beberapa hari lagi menjelang festival tersebut. Spanduk-spanduk promosi banyak terpampang di jalan ketika kami melintasi kedua negeri ini. Diadakan setiap tahun sekali tepatnya delapan hari setelah Idul Fitri, tradisi ini dikabarkan cukup berhasil menarik perhatian banyak turis baik domestik maupun mancanegara.
 |
Tidak seperti tempat wisata yang sudah dikelal, di pantai perawan ini kami tidak dapat menikmati fasilitas apapun. Kami mesti memanfaatkan apa yang tersedia secara alami seperti balok kayu untuk duduk-duduk di sana. |
 |
Tanjung Setan |
Meluncur kembali ke arah barat, kali ini kami menuju ke Negeri Hila, desa yang cukup unik. Tidak seperti kebanyakan negeri di Maluku yang agamanya bersifat tunggal, Hila dibagi menjadi Hila Islam dan Hila Kristen. Desa ini menjadi tempat berdirinya beberapa situs bersejarah seperti Masjid Tua Wapauwe (dibangun pada tahun 1414, tertua kedua di Indonesia), Gereja Tua Immanuel (dibangun pada tahun 1659, tertua di Maluku), dan Benteng Amsterdam (1642). Benteng Amsterdam didirikan oleh Gerard Demmer, kemudian diperluas oleh Arnold De Vlaming van Duds Horn pada tahun 1649-1656. Gerbang masuk ke benteng ini hanya akan dibuka jika ada pengunjung yang datang. Tidak ada uang masuk yang dikenakan namun donasi sangat diharapkan di akhir kunjungan. Kami hanya mengisi buku tamu dan tidak memberikan sepeser pun. Kami merasa tidak enak hati karena penjaga benteng kelihatan cukup kecewa. Gereja Tua Immanuel terletak tidak jauh dari benteng. Namun gereja tersebut tidak dapat kami masuki.
 |
Halaman depan Benteng Amsterdam |
 |
Berumur ratusan tahun, Benteng Amsterdam masih berdiri gagah hingga sekarang |
 |
Tampak dalam benteng |
 |
Tangga menuju lantai atas benteng |
 |
Menikmati pemandangan laut yang indah dari jendela benteng |
 |
Gereja Tua Immanuel, Hila |
Rencana awal kami adalah untuk menyusuri jalan provinsi pinggir laut hingga tembus ke sisi barat pulau. Tapi kami membatalkan rencana tersebut karena mendengar berita adanya kerusuhan di beberapa desa di daerah tersebut. Maka kami kembali ke Ambon, menyisahkan sisi barat pulau untuk eksplorasi berikutnya.
 |
Garis hitam di peta menunjukkan rute yang batal ditempuh dalam petualangan kali ini. |