23 Agustus 2012

Harta Kekayaan di Pesisir Utara

Pesisir utara Pulau Ambon
Setelah sebelumnya bagian tenggara dari pulau Ambon kami jelajahi, kini giliran area pesisir utara yang kami eksplorasi. Pertama-tama, kami meluncur ke Negeri Hunut terlebih dahulu yang merupakan salah satu akses darat ke pesisir utara. Akses darat lainnya adalah melalui jalan provinsi yang mengitari Jazirah Leihitu, searah jarum jam melewati Bandara Pattimura di Laha dan yang melawan arah jarum jam melalui Liang.

Untuk ke Hunut sendiri, ada dua rute dari Ambon, yaitu melalui jalan utama via Passo maupun lewat Galala-Poka dengan menggunakan kapal feri. Kami memilih opsi yang kedua karena tujuannya memang untuk jalan-jalan.

Penyeberangan feri di Teluk Ambon ini sangat populer di kalangan masyarakat setempat khususnya mahasiswa karena lokasi kampus utama Universitas Pattimura ada di Poka. Lagipula pada saat itu naik feri Galala-Poka merupakan cara tercepat untuk ke bandara dari Kota Ambon yang jaraknya 30km. Jasa penyeberangan dilayani oleh tiga kapal; KMP Gabus, KMP Tenggiri dan KMP Teluk Ambon, beroperasi dari jam 7 pagi hingga jam 7 malam setiap harinya. Ongkosnya sebesar Rp 20,000 per mobil. [Update] Pada tahun 2016, penyeberangan ini resmi ditutup menyusul beroperasinya Jembatan Merah Putih.

Dari atas bukit di dekat Hunut, kami bisa mengintip ke arah laut yang diarungi beberapa kapal serta sebuah desa di pinggirnya.
Jembatan seperti ini bukan satu-satunya yang kami sebrangi ketika menyusuri area pesisir utara
Tanpa disangka kami menyaksikan wilayah terdampak banjir bandang yang terjadi baru-baru ini.
Destinasi pertama kami di area pesisir utara adalah Tanjung Setan. Mungkin disebut demikian karena lingkungannya yang diselimuti kesunyian sehigga terkesan seram seperti setan. Memang saat itu tidak ada seorang pun di sana kecuali kami berdua. Air lautnya pun sangat tenang dan bening. Kami bisa melihat ikan-ikan kecil berenang di sana tanpa perlu snorkeling. Memang tempat ini sempurna untuk melarikan diri dari kesibukan harian kota. Namun, lumayan juga usaha yang dibutuhkan untuk sampai ke sana karena sebagian badan jalan akses menuju tempat itu tertutup tanah longsor (meskipun begitu, di sini tidak ada titik longsor yang parahnya seperti di daerah tenggara pulau Ambon ketika kami berjelajah ke sana. Silahkan klik di sini untuk membaca artikelnya).

Di dekat tanjung, terdapat Benteng Kapahaha yang pernah menjadi markas penting pejuang setempat dalam usaha melawan Belanda. Benteng ini akhirnya jatuh ke tangan musuh dan dibakar habis. Kami hanya melihat papan petunjuk ke benteng ini tapi kami tidak pernah benar-benar sampai ke situs benteng karena benteng ini adalah benteng alam yang sudah dihancurleburkan jadi mungkin memang sudah tidak terlihat apa-apa lagi di sana.
Selain Benteng Kapahaha, ada banyak tempat atraksi lainnya di area Tanjung Setan yang kebanyakan adalah pantai-pantai perawan, namun karena kondisi jalan provinsi ke arah Liang yang kurang baik akibat longsor, kami mundur dan kembali melewati dua negeri di pesisir utara pulau yang ketika berangkat ke Tanjung Setan tadi sudah kami lintasi, yaitu Mamala dan Morela. Desa-desa ini mempunyai ritual unik bernama Baku Pukul Manyapu dimana empat puluh laki-laki dalam dua kelompok yang berbeda akan saling mencambuk satu sama lain. Anehnya, mereka tidak akan merasakan sakit meskipun berdarah. Saat itu sudah tinggal beberapa hari lagi menjelang festival tersebut. Spanduk-spanduk promosi banyak terpampang di jalan ketika kami melintasi kedua negeri ini. Diadakan setiap tahun sekali tepatnya delapan hari setelah Idul Fitri, tradisi ini dikabarkan cukup berhasil menarik perhatian banyak turis baik domestik maupun mancanegara.

Tidak seperti tempat wisata yang sudah dikelal, di pantai perawan ini kami tidak dapat menikmati fasilitas apapun. Kami mesti memanfaatkan apa yang tersedia secara alami seperti balok kayu untuk duduk-duduk di sana.
Tanjung Setan
Meluncur kembali ke arah barat, kali ini kami menuju ke Negeri Hila, desa yang cukup unik. Tidak seperti kebanyakan negeri di Maluku yang agamanya bersifat tunggal, Hila dibagi menjadi Hila Islam dan Hila Kristen. Desa ini menjadi tempat berdirinya beberapa situs bersejarah seperti Masjid Tua Wapauwe (dibangun pada tahun 1414, tertua kedua di Indonesia), Gereja Tua Immanuel (dibangun pada tahun 1659, tertua di Maluku), dan Benteng Amsterdam (1642). Benteng Amsterdam didirikan oleh Gerard Demmer, kemudian diperluas oleh Arnold De Vlaming van Duds Horn pada tahun 1649-1656. Gerbang masuk ke benteng ini hanya akan dibuka jika ada pengunjung yang datang. Tidak ada uang masuk yang dikenakan namun donasi sangat diharapkan di akhir kunjungan. Kami hanya mengisi buku tamu dan tidak memberikan sepeser pun. Kami merasa tidak enak hati karena penjaga benteng kelihatan cukup kecewa. Gereja Tua Immanuel terletak tidak jauh dari benteng. Namun gereja tersebut tidak dapat kami masuki.

Halaman depan Benteng Amsterdam
Berumur ratusan tahun, Benteng Amsterdam masih berdiri gagah hingga sekarang
Tampak dalam benteng
Tangga menuju lantai atas benteng
Menikmati pemandangan laut yang indah dari jendela benteng
Gereja Tua Immanuel, Hila
Rencana awal kami adalah untuk menyusuri jalan provinsi pinggir laut hingga tembus ke sisi barat pulau. Tapi kami membatalkan rencana tersebut karena mendengar berita adanya kerusuhan di beberapa desa di daerah tersebut. Maka kami kembali ke Ambon, menyisahkan sisi barat pulau untuk eksplorasi berikutnya.

Garis hitam di peta menunjukkan rute yang batal ditempuh dalam petualangan kali ini.

20 Agustus 2012

Jalur Menantang ke Yang Terlupakan

Peta Pulau Ambon
Negeri merupakan sebutan bagi desa (adat) di daerah Ambon dan sekitarnya. Pemimpin sebuah negeri dipanggil dengan sebutan raja-yang dalam pandangan masyarakat Indonesia pada umumnya lebih mirip seperti kepala desa-. Pada edisi petualangan kali ini, kami akan membahas beberapa negeri yang jaraknya berdekatan dengan Kota Ambon. Negeri-negeri ini kami kunjungi langsung dalam satu kali putaran kecil di Jazirah Leitimur.

Negeri Passo
Negeri yang pertama akan kami bahas ini merupakan garis finis dari perjalanan kami. Terletak pada 'leher' pulau Ambon, Passo memiliki arti strategis bagi masyarakat di pulau Ambon. Pada zaman Belanda, konon tempat ini sempat menjadi pos penjagaan lalu lintas orang yang datang ke Jazirah Leitimur dari Jazirah Leihitu atapun sebaliknya. Pada zaman ini, mereka yang hendak pergi dari ibukota provinsi di Kota Ambon ke tempat-tempat penting di utara seperti Bandara Pattimura, Pantai Natsepa, Pelabuhan Tulehu, dan penyeberangan kapal feri di Liang ataupun sebaliknya pasti akan melewati Passo. Tak heran jika negeri ini cukup ramai oleh lalu lalang manusia. Ditambah lagi, salah satu mal terbesar di Maluku yang bernama Ambon City Center (ACC) dibuka di area ini pada awal tahun 2012. Terdapat pula bangunan tua bersejarah yaitu Benteng Middelburg (1624), namun karena kondisinya yang tidak terurus dan letaknya terapit di antara rumah penduduk maka tidak banyak diperhatikan orang yang lewat.

Sebenarnya, Negeri Passo dapat ditempuh dengan mudah melalui jalan utama selama kurang lebih 20 menit dari Kota Ambon. Namun, kali ini kami sengaja mengambil rute yang tidak lazim mengitari jalan gunung ke Passo guna menemukan kembali tempat-tempat indah yang sering terlupakan di bagian tenggara pulau Ambon.

Negeri Soya
Terletak tak begitu jauh dari pusat kota, Negeri Soya merupakan yang pertama kami sambangi. Untuk menuju ke sana, di perempatan dekat Gereja Katedral Santo Fransiskus Xaverius kami memasuki jalan yang ada di sebelah Polda Maluku. Jalan menanjak ini membawa kami ke Gunung Sirimau. Ujung dari jalan sepanjang 4,5 km itu ditandai dengan papan bertuliskan "Mae Mae Mena di Objek Wisata Soya". Kami mesti memarkir sepeda motor kami di titik yang juga merupakan awal dari jalur pendakian itu. Di dekat papan selamat datang ini, kami dapat melihat Gereja Tua Soya, sebuah gereja tradisional yang dibangun tahun 1800-an.

Pada permulaan pendakian, kami harus berjalan melalui pemukiman warga desa. Trek pendakian ini cukup mudah untuk dijalani karena trap-trapnya dalam keadaan baik. Masalahnya, saat itu sedang gerimis jadi permukaan tangga menjadi agak licin. Setelah mendaki dengan berhati-hati selama beberapa menit, kami melihat sebuah gerbang yang tidak dijaga maupun dikunci. Puncak gunung terdapat tidak jauh dari gerbang itu. Di sana kami dapat menemukan apa yang disebut dengan 'Tempayan Setan'. Tempayan ini konon selalu terisi air tanpa memedulikan musim hujan ataupun kemarau. Penduduk lokal percaya air tersebut dapat menyembuhkan penyakit apapun. Itulah alasan orang datang ke puncak Gunung Sirimau. Sayangnya, jika bukan untuk urusan klenik, tidak banyak yang dapat dilakukan di tempat ini.

Saya rasa pemerintah lokal mestinya bisa membuat yang lebih baik untuk mengelola Negeri Soya sebagai salah satu tempat wisata utama di sekitar Kota Ambon. Negeri ini sejatinya memiliki potensi pariwisata yang cukup besar. Terletak 400 meter di atas permukaan laut, desa ini dulunya sebuah kesultanan yang dominan sebelum dikalahkan oleh Portugis dan kemudian oleh Belanda. Banyak upacara-upacara kebudayaan masih dilakukan dan hukum adat masih diterapkan di sini. Keramahtamahan penduduknya terhadap orang luar desa juga menjadi poin tersendiri. Hal ini terlihat dari hangatnya sapaan penduduk desa yang kami temui pada saat kami jalan kembali turun. Mereka nampak sedang menuju ke arah hutan untuk mengumpulkan kayu.

Kembali ke parkiran sepeda motor, kami punya masalah. Kami lupa membawa jas hujan sedangkan di sana pun tidak ada tempat berteduh. Jadi, mau tidak mau kami harus pergi menerobos hujan.

Titik awal pendakian ke Gunung Sirimau
Trap-trap menuju puncak Gunung Sirimau. Kata trap yang berasal dari kosakata Belanda ini lebih umum dipakai oleh masyarakat Ambon dibanding frase anak tangga.
Gerbang yang tidak terkunci
Negeri Naku
Dari Desa Soya, kami kembali hingga sebuah pertigaan dimana kami melihat papan petunjuk arah ke Passo yang sekarang letaknya berada di sisi kiri kami. Kami ikuti papan tersebut dengan belok kiri dan kemudian belok kiri sekali lagi ketika kami tiba di pertigaan lainnya. Setelah sekitar 5 kilometer, kami melihat di sisi kanan gerbang masuk Negeri Naku, sebuah desa yang memiliki pantai cantik yang tersembunyi sehingga memerlukan usaha lebih untuk mencapainya. Klik  di sini untuk membaca cerita perjalanan kami ke Pantai Naku di lain hari.

Negeri Hukurila
Berikutnya tempat yang kami kunjungi adalah Pantai Hukurila. Dari gerbang masuk Desa Naku, kami ikuti terus jalan sekitar 3 km hingga kami tiba di Desa Hukurila. Awalnya kami tidak melihat tanda-tanda adanya pantai, namun kemudian kami bertanya pada penduduk sekitar yang dengan senang hati memberi tahu kami lokasi pantai. Pantai Hukurila dikatakan memiliki keindahan bawah laut yang tidak kalah dari Raja Ampat serta gua bawah laut yang menarik bagi para penyelam. Karena menghadap arah timur, pantai ini juga dapat dinikmati sambil menyaksikan matahari terbit. Hari itu kami datang tidak terlalu pagi. Lagipula cuaca sedang mendung, matahari hampir tidak kelihatan. Air laut saat itu sedang tidak terlalu bening karena musim penghujan. Bagaimanapun itu, Pantai Hukurila dengan pemandangan gunung berapi non-aktif ini tetap cukup menarik bagi kami. 
Pantai Hukurila, sebuah kombinasi sempurna antara gunung dengan pantai.
Kami menjadi satu-satunya turis di pantai itu.
Menikmati suasana pantai beberapa saat, kami kemudian meninggalkan desa dengan menyeberangi jembatan. Mulai dari sinilah pemandangan laut dari dataran tinggi tersaji di depan mata kami begitu menakjubkan. Namun di lain sisi, kondisi jalannya juga semakin menantang. Akhir-akhir ini sedang musim hujan deras dan tanah longsor terjadi di beberapa tempat di Pulau Ambon. Nyatanya, titik-titik longsor yang cukup parah terdapat pula di jalan yang kami lalui. Mungkin karena alasan ini pula kami hampir tidak bertemu dengan pengguna jalan lainnya selepas dari Desa Hukurila. Sebagian besar titik longsor masih dapat kami lalui dengan sepeda motor, tapi ada satu yang benar-benar sampai memakan seluruh badan jalan. Ketika kami dihadang olehnya sudah cukup jauh untuk berputar balik. Lagipula menyerah semudah itu dan kembali lewat rute yang sama dengan tadi berangkat sama sekali bukan gaya kami.

Akhirnya, diputuskan untuk melewati hadangan longsor itu dengan menuntun sepeda motor lewat jalan sempit nan licin di luar batas pagar pengaman. Cukup beresiko mengingat lokasinya yang ada di pinggir jurang. Motor kami sempat tertahan lumpur dan terancam gagal melewati rintangan ini. Tapi kami masih beruntung. Tiba-tiba ada satu pasangan lainnya bersepeda motor juga yang searah dengan kami. Kami sekarang tidak sendirian. Pasangan ini menolong kami mendorong motor kami keluar dari lumpur hingga lepas dari area longsor. Kejadian ini yang membuat kami tidak pernah kembali lagi ke sini untuk kedua kalinya. Semoga jalan ini sudah diperbaiki pemerintah setempat saat ini.

Tanah longsor memakan hampir seluruh badan jalan.
Jalan sempit yang berbahaya ini merupakan satu-satunya pilihan yang kami punya untuk melanjutkan perjalanan.
Negeri Hutumury
Setelah menempuh jarak 8km lebih, kami tiba di Hutumury. Barangkali desa ini adalah yang paling menarik dalam perjalanan kali ini. Selain sebuah gereja tua, kami juga melihat ada banyak babi berkeliaran. Jarak laut dengan desa sangat dekat, padahal saat itu air sedang surut. Tepat di luar desa, ada sebuah pantai lagi bernama Lawena. Klik  di sini untuk membaca cerita perjalanan kami ke Pantai Lawena di lain hari.

Air laut yang sedang surut dilihat dari Desa Hutumuri.
Pohon pepaya ini tertanam di atas batu karang.
Gerbang selamat datang ke Pantai Lawena

Sekitar 15km dari sana jalan yang kami tempuh akhirnya tembus juga ke Passo. Kami masuk ke mal ACC dengan kaki bersimbah lumpur sambil merasa sangat lega seolah-olah kami habis meninggalkan peradaban beberapa tahun lamanya dan sekarang kembali ke sebuah kehidupan modern.

16 Agustus 2012

Balinya Ambon

Pura Giwa Stanagiri, Ambon
Terkadang orang suka membandingkan Ambon dengan Bali karena kedua pulau ini memiliki banyak pantai nan elok. Namun, sulit bagi siapapun untuk menyangkal bahwa Bali masih menang jauh dalam hal menarik wisatawan daripada Ambon. Tiap tahunnya hampir 2 juta orang dari luar negeri datang ke Bali, jauh melampaui jumlah pengunjung asing ke Ambon yang di tahun 2012 hanya 18,000 orang saja. Menurut saya, setidaknya ada tiga faktor yang membuat hal ini terjadi:
  1. Faktor Budaya
    Bali tidak hanya menyajikan keindahan pantai-pantainya, tapi juga budaya Hindu-nya yang unik. Sedangkan di Ambon, agama dominan adalah agama-agama barat dan timur tengah yang tidak begitu berbeda dari di tempat lainnya. Sebenarnya ada hal-hal lain seperti tari-tarian dan bangunan adat yang cukup otentik, namun beberapa di antaranya sudah tidak benar-benar dihidupi oleh masyarakatnya selain untuk pertunjukkan belaka.
  2. Faktor Geografis
    Bali terletak di dekat Pulau Jawa yang merupakan pusatnya Indonesia, sementara Ambon terletak jauh di bagian timur dari negeri tersebut.
  3. Faktor Keamanan
    Bali dianggap dunia relatif aman. Dua peristiwa bom di Bali (2002 dan 2005) bukan merupakan apa-apa jika dibandingkan dengan kerusuhan berbau agama di Ambon yang berkobar sejak 1999 hingga 2004, kemudian sempat lagi pada tahun 2011 ketika salah satu teman guru saya gugur terkena peluru nyasar. Di luar tahun-tahun tersebut pun masih meletup kerusuhan-kerusuhan dalam skala yang lebih kecil, kadang antar kampung sesama agama, dan sentimen keretakkan antar golongan pun masih kental terasa.

Oleh karena keunggulan-keunggulan yang Bali punya ini, banyak orang Ambon yang meskipun sudah punya cukup banyak pantai di kampung halaman mereka sendiri tetap sangat ingin mengunjungi Bali. Biaya untuk melakukannya tentu tidak murah. Sampai saat ini pun belum ada penerbangan langsung dari Ambon ke Denpasar-Bali. Nah, buat orang yang tinggal di Ambon dan mau merasakan sedikit pengalaman Bali, mungkin tempat yang satu ini layak dikunjungi; Pura Giwa Stanagiri.


Patung penjaga pura
Tangga menuju nirwana




















Pura ini dibangun pada tahun 1991. Tidak terlalu banyak orang yang tahu tempat ini. Nampaknya jika Anda mengambil foto di tempat ini dan mengaku pada teman-teman Anda bahwa ini di Bali, teman Anda akan percaya itu benar. Kristin dan saya menemukan tempat ini secara tidak sengaja ketika kami hendak mengunjungi Museum Siwallima di selatan Kota Ambon. Pura tersebut terletak tepat di sebelah pojok atas dari museum.

Museum Siwallima memiliki dua bangunan yang berjarak beberapa ratus meter dipisahkan oleh area berbukit. Gedung ini merupakan bangunan utama.

Di luar bangunan museum ada meriam yang diarahkan ke Teluk Ambon
Di dalam museum, kami menemukan beberapa hal menarik untuk dilihat. Di dalam gedung utama, misalnya, ada tiga kerangka ikan paus yang ditemukan pada tahun 1987 dengan panjang masing-masing 9m, 17m, dan 19m. Sayangnya, pada saat kami datang ke sana, gedung utamanya sedang direnovasi jadi kami tidak melihat ikan-ikan paus itu. Bangunan lainnya diperuntukkan bagi tujuan etnografi. Di sini kami dapat melihat hal-hal terkait dengan budaya Maluku. Tempat ini buka tiap hari Senin sampai Jumat (08.00-16.00) dan Sabtu sampai Minggu (10.00-16.00). Biaya masuknya Rp 3,000/orang dikenakan hanya jika kita masuk ke dalam gedung.

Loh-loh-loh, kok judul artikel ini sudah tidak relevan lagi. Jadi sepertinya sudah waktunya untuk mengakhiri post ini.

Peta Dunia TRAVELdonk

Peta Dunia TRAVELdonk