28 Juni 2019

Nagano Rasa Nano Nano


Salah satu sudut kota Nagano
Sambil menunggu Tur TRAVELdonk Jepang yang akan dimulai dalam beberapa hari lagi, kami berdua jalan-jalan ke Nagano. Tempat ini kami pilih karena udaranya yang relatif sejuk sekalipun sedang musim panas. Nagano terletak di areal pegunungan berjarak sekitar 250 km dari Tokyo. Ibukota prefektur dengan nama yang sama ini dapat ditempuh menggunakan kereta cepat shinkansen dalam waktu kurang dari 1,5 jam saja. Namun, kami tidak naik kereta yang dapat melaju hingga 260 km/jam itu karena ongkosnya yang cukup mahal, yaitu sekitar ¥8,000 atau Rp 1 juta lebih. Pilihan kami jatuh pada bus Willer Express yang jauh lebih ekonomis. 

Sepanjang perjalanan ke sana, kami menikmati hijaunya pegunungan yang indah. Bus sempat berhenti dua kali di tempat peristirahatan, dimana kami mendapat kesempatan berbelanja oleh-oleh maupun menikmati teh gratis yang disediakan di sana.

Keesokan paginya, dengan kondisi badan segar bugar setelah tidur nyenyak di tempat seorang host Couchsurfer, kami memulai penjelajahan dengan pertama-tama menuju Zenkoji, kuil yang menjadi atraksi utama di Nagano. Jaraknya lebih dari 2 km dari apartemen tempat kami menginap, hampir sama jauh dengan jarak dari stasiun kereta JR ke kuil. Meski demikian, kami tidak merasa bosan maupun lelah sama sekali karena kami menikmati tiap sudut pemandangan kota yang kami lewati. Mulai dari penyeberangan rel kereta api layaknya di dorama-dorama Jepang yang kami tonton, anak-anak TK/SD yang berjalan kaki sendirian berangkat sekolah, hingga tanaman-tanaman cantik di halaman rumah orang. Pokoknya kami benar-benar berasa masuk dalam cerita fiksi Jepang deh!

Sejatinya, Nagano, seperti juga banyak kota lainnya di Jepang, merupakan monzen-machi alias kota kuil. Artinya, asal-usul Nagano sebagai sebuah kota tidak dapat dipisahkan dari Zenkoji itu sendiri. Pada zaman dulu, orang yang datang ke sini bukan saja mereka yang mau beribadah tapi banyak juga pedagang yang berbisnis dengan para pengunjung kuil sebagai sasarannya. Akhirnya, orang-orang ini pun bermukim di area sekitar kuil. Lama-kelamaan semakin ramai orang yang bermukim sehingga Nagano berkembang menjadi kota seperti saat ini.

Kompleks Zenkoji cukup besar, dimulai dari Nio-mon sebagai gerbang luar kuil yang dijaga oleh dua patung Nio. Adapun gerbang dalamnya bernama San-mon. Kedua gerbang tersebut tersambung oleh Nakamise-dori yang merupakan jalan lurus penuh dengan toko makanan dan oleh-oleh di kanan kirinya. Setelah melewati San-mon, barulah terdapat Zenkoji Hondo, bangunan utama kuil (main hall) yang tentunya dilengkapi dengan berbagai ornamen bernuansa Buddha dan altar untuk melakukan ritual penyembahan. Terdapat pula lorong bawah tanah gelap gulita yang menambah kesan mistis dari kuil ini. Pengunjung dapat masuk ke bagian dalam ruangan hingga ke bawah tanah secara berbayar. Bangunan utama kuil ini sebelumnya terletak di dekat Nio-mon namun kemudian dipindahkan ke lokasi yang sekarang karena mengalami kebakaran.

Gerbang Niomon nampak belakang

Sebuah patung Jizo penanda lokasi bangunan utama kuil sebelum kebakaran

Istirahat sejenak di dekat Sanmon Gate yang dihiasi
patung-patung Jizo di sebelah kanannya
 
Rokujizo, patung jizo berjumlah enam (hanya lima yang terlihat di gambar)
yang mewakili penyelamatan di enam alam berbeda.

Bangunan utama kuil Zenkoji

Tujuan awal Zenkoji dibangun adalah untuk mengkeramatkan patung Buddha yang pertama kali masuk ke Jepang pada abad ke-6 Masehi. Namun, saat mengunjungi kuil ini jangan harap dapat melihatnya karena patung tersebut merupakan hibutsu (secret Buddha) yang selalu disembunyikan. Hanya replikanya saja yang dapat dilihat oleh publik, itupun hanya setiap enam tahun sekali selama beberapa minggu.

Cerita seputar kuil Zenkoji memang menarik, namun saat berada di sana kami lebih tertarik pada keindahan tiap sudutnya. Selain yang sudah disebutkan di atas, di dalam kompleks kuil masih banyak lagi yang bisa dilihat, dinikmati maupun dijadikan spot berfoto. Salah satu contohnya adalah kuil Daikanjin yang terletak di sebelah kiri sebelum Sanmon Gate. Kemudian, ada juga bangunan Zenkoji History Museum yang berbentuk pagoda. Tak ketinggalan pula Higashi Teien, sebuah taman di sebelah timur bangunan utama kuil.  

Kuil Daikanjin

Pohon bewarna-warni di dekat bangunan penyimpanan kitab suci

Kuburan juga termasuk dalam kompleks kuil Zenkoji

Tak jauh dari Zenkoji terdapat atraksi lainnya, yaitu Nagano Prefectural Art Museum yang terletak di Joyama Park. Namun, pada saat itu sedang ada renovasi sehingga kami harus jalan sedikit memutar untuk ke Joyama Park. Kami sempat mampir ke sebuah kuil Shinto bernama Massha Bokushosho Shrine. Kuil ini terkesan angker karena seperti sudah tidak terpakai lagi.

Masha Bokushosho Shrine

Menyusuri jalan mengelilingi Joyama Park

Joyama Park dihiasi berbagai bungai berwarna-warni berlatarkan perbukitan

Jalan menyusuri Joyama Park menghantarkan kami hingga tiba di Joyama Zoo yang merupakan kebun binatang mini tanpa tiket masuk alias gratis. Meskipun luasnya terbilang kecil, koleksi binatang di sini lumayan beragam, mulai dari unggas hingga singa laut. Kami pun dapat menyaksikan monyet bermuka merah (Macaca fuscata) yang hanya terdapat di Jepang. Biasanya turis bepergian hingga ke Jigokudani Monkey Park yang berjarak satu jam perjalanan dari kota Nagano untuk melihat monyet-monyet ini berendam di kolam air panas. Pengunjung kebun binatang rata-rata adalah orang tua muda membawa anak kecil. Jadi kami tidak hanya bisa melihat binatang-binatang yang lucu, tapi juga anak-anak kecil Jepang yang sangat imut. Tepat di samping kebun binatang terdapat Youth Science Center dan Shinano Shokonsha Shrine, sebuah kuil Shinto yang lagi-lagi terlihat sudah tidak terpakai.

Sekawanan monyet salju bermuka merah di Joyama Zoo

Menyaksikan singa laut yang sedang diberi makan seember ikan segar

Bertolak dari kebun binatang, kami lanjut berjalan melewati pemukiman penduduk hingga tiba di persimpangan di mana kami melihat sebuah gereja di sebelah kiri dan minimarket Lawson di sebelah kanan. Dari situ, jalanan mulai terus menanjak. Tanpa rencana sebelumnya, kami nekat jalan kaki naik ke atas bukit. Hanya berbekal Google Map di hape kamu pun menembus jalan-jalan kecil perkebunan apel hingga sampai di depan sebuah gerbang kuil Shinto. Harusnya kami tinggal mengikuti jalan raya untuk sampai di Jitsukiyama Park. Namun, kami malah melewati gerbang Shinto yang membawa kami pada jalur pendakian hutan. 

Tak seberapa jauh kami pun tiba di Komagatatake Komayumi Shrine yang sepertinya merupakan tempat berdoa bagi para pendaki. Kuil-kuil Shinto yang kami kunjungi hari ini semuanya terkesan angker, apalagi yang satu ini. Letaknya yang jauh dari keramaian ditambah batu besar di depan bangunan kuil yang diikat dengan tali cukup membuat bulu kuduk merinding. Tak mau lama-lama di tempat seperti itu, kami lanjut berjalan.

Semakin jauh berjalan, semakin terjal jalur pendakiannya. Petunjuk jalan hanya sedikit, itu pun dalam bahasa Jepang. Setelah beberapa lama mendaki, kami pun tiba di kuil Shinto lainnya yang lebih kecil, yaitu Konpirakyu. Merasa tanggung apabila kembali turun, kami lanjut menerobos hutan dengan jalan setapak pendakian seadanya. Jika terjadi apa-apa tidak bisa meminta bantuan. Kami yang basah kuyup diguyur keringat sendiri sempat merasa putus asa karena jalur pendakian tak juga usai. 

Titik awal dari jalur pendakian hutan

Komagatatake Komayumi Shrine

Semacam tempat peristirahatan di tengah-tengah jalur pendakian

Di tengah-tengah kekhawatiran akan tersesat, akhirnya kami menemukan tangga evakuasi yang tersegel tak terpakai. Kami tak peduli dengan segelnya, kami loncati saja. Dengan mengikuti tangga ini akhirnya sampai juga kami di パワーポイント (power point). Tempat ini merupakan observation deck dimana kami bisa melihat pemandangan indah kota Nagano dari atas. Disebut dengan nama demikian karena aktivitas yang dianjurkan di sini bagi para pendaki adalah berteriak sekuat tenaga ke arah kota Nagano. Dengan begitu diharapkan segala penat akan hilang. Tentunya hal ini tak bisa dilakkan di tengah kota. Jika dilakukan di tempat ini tidak akan mengganggu siapapun, toh di sini sangat sepi. 

Sejak awal pendakian tadi kami tidak melihat satupun orang lain. Tapi akhirnya di sini kami bertemu dengan seorang kakek yang sedang mendaki sendirian. Nampaknya ia tidak melalui jalur hutan seperti kami tadi. Setelah beberapa saat melepas lelah dan makan siang bento yang tadi dibeli di Lawson, kami mesti bergegas pergi karena sudah mulai gerimis. Kami pun jalan turun melewati jalur yang jauh lebih gampang, yaitu yang dilewati oleh kakek pendaki tadi, hingga kami tiba di Jitsukiyama Park.

Di taman itu juga ada observation point untuk melihat pemandangan kota. Kami jadi semakin sadar kalau Nagano adalah kota yang indah dengan dikelilingi dataran tinggi. Selain melihat keindahan, di dekat sini kami juga melihat sesuatu yang mengerikan. Ada papan peringatan bergambar beruang. Itu artinya di jalur pendakian tadi ada beruang liar! Untunglah kami tidak ketemu satupun dari mereka, karena kalau sampai ketemu kami pasti akan sangat panik. Hujan lebat turun, kami terpaksa berteduh di gazebo taman. Di taman ini pun sama sekali tidak ada orang lain, satu-satunya orang yang kami temui lagi-lagi kakek pendaki tadi yang kembali dari pendakiannya. Saking sepinya, kami bahkan sempat sengaja meninggalkan hape di dalam toilet untuk di-charge.

Power Point

Observation deck di Jitsukiyama Park

Taman dilengkapi pula dengan fasilitas perosotan darurat

Begitu hujan reda, kami berdua jalan turun keluar dari taman itu. Dari tempat parkir kendaraannya kami terus berjalan menyusuri jalan raya dengan pemandangan kota di sisi satunya. Akhirnya kami pun tiba di sebuah kompleks kuil yang bangunannya terlihat baru. Kuil inilah yang kami lihat dari jauh saat di Zenkoji dan menjadi alasan kami untuk naik bukit. Setelah mencari tahu, ternyata kuil ini adalah Zenkoji Unjouden Noukotsudou yang merupakan perpanjangan dari Zenkoji itu sendiri dan difungsikan lebih untuk upacara orang meninggal. Maka tak heran jika persis di samping kuil ini terdapat kuburan.

Dari situ kami terus berjalan turun dan menemukan satu kuil lagi yang lebih kecil, yaitu Daihonzankatsuzen Temple. Kami turun lewat jalan-jalan kecil untuk menyingkat perjalanan, beberapa di antaranya kami harus melewati tangga-tangga yang cukup terjal. Melewati pemukiman-pemukiman penduduk akhirnya kami tiba kembali di persimpangan dimana kami melihat sebuah gereja dan minimarket Lawson. Dari situ kami tinggal mengikuti jalan yang sama untuk kembali ke Zenkoji lalu ke Stasiun JR Nagano untuk menunggu dijemput oleh host kami.

Jalan raya epik menuju Jitsukiyama Park

Bangunan baru Zenkoji Unjouden Noukotsudou

Luasnya halaman kuil Zenkoji Unjouden Noukotsudou

Perasaan campur aduk turut menemani hari yang panjang ini. Kami merasa kagum saat mengunjungi Zenkoji, takut saat berada di kuil-kuil Shinto yang angker, lelah dan khawatir saat mendaki, lega saat tiba di ujung pendakian, dan kaget ketika mengetahui ada beruang liar di jalur pendakian hutan. kota Penjelajahan kota Nagano kali ini memang berasa seperti Nano Nano. Manis, asam, asin, ramai rasanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Peta Dunia TRAVELdonk

Peta Dunia TRAVELdonk