Myoko Kogen alias Dataran Tinggi Myoko telah sejak lama menjadi destinasi wisata populer saat musim dingin. Pasalnya, area ini memiliki curah salju yang sesuai dan medan yang cocok untuk bermain ski dengan berbagai tingkat kesulitan. Jalur meluncurnya pun termasuk yang paling panjang. Tak heran jika infrastruktur pariwisata di sini, seperti hotel maupun rute transportasi umum terpusat pada titik-titik resor ski berada, sebut saja area Akakura, Suginohara, dan Ikenotaira. Namun, apa jadinya jika datang ke Myoko Kogen saat musim panas? Masih dapatkah melihat salju di sana? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang coba kami jawab saat mengunjungi Myoko Kogen di hari keempat kami berada di Jepang, setelah di hari-hari sebelumnya kami telah ke Tokyo, Nagano, dan Matsumoto.
Ternyata pada saat kami datang, salju masih dapat dilihat di Myoko Kogen. Mungkin karena saat itu akhir bulan Juni ketika musim panas belum pada puncaknya jadi sebagian salju masih tersisa pada puncak-puncak gunungnya. Namun, untuk mendapatkan pemandangan indah seperti pada foto di atas dibutuhkan perjuangan yang cukup panjang.
Dari Stasiun Nagano kami naik kereta Shinano Tetsudo hingga stasiun terakhirnya di Myoko Kogen. Kami lalu lanjut naik minibus jurusan Suginosawa. Minibus ini menjadi andalan transportasi kami selama di Myoko Kogen. Baik hari ini maupun di hari berikutnya, kami berdua selalu merupakan satu-satunya penumpang di dalam minibus. Ternyata memang kebanyakan orang tidak datang ke Myoko Kogen saat musim panas.
![]() |
Penginapan dengan bangunan yang unik di Myoko Kogen. |
![]() |
Hijaunya alam Myoko Kogen pada saat musim panas |
Karena sepanjang perjalanan tidak ada orang naik maupun turun, jadi saat pertama kali naik minibus kami sempat kebablasan hingga ke Suginosawa Nishino yang menjadi pemberhentian terakhir jurusan ini. Jadi kami harus naik minibus yang sama ke arah sebaliknya untuk sampai di tujuan kami, yaitu Imori-ike.
Imori-ike merupakan kolam dengan pemandangan alam yang indah. Jika sedang cerah, Gunung Myoko akan tampak sebagai latar belakang dan juga terpantul sempurna di air kolam. Tapi sayangnya, saat itu sedang turun kabut, jadi gunung tidak nampak. Sekalipun saat itu cerah, kami tidak yakin gunung akan sepenuhnya terpantul di air kolam, karena pada musim ini kolam banyak ditumbuhi oleh tanaman sejenis teratai. Kami berjalan mengelilingi kolam mengikuti trek. Setelah sekali putaran, kabut pun sudah mulai menipis dan gunung sedikit kelihatan. Di dekat kolam, ada sebuah restoran yang menjual mie dan berbagai macam cemilan. Menu yang paling menarik di sini adalah es krim yang dianjurkan dimakan sambil merendam kaki di sumber mata air panas. Bisa dibayangkan bagaimana sensasi dingin terasa di tubuh bagian atas sementara di bawah terasa hangat.
![]() |
Suasana berkabut di Imori-ike |
![]() |
Sumber mata air panas (onsen) untuk merendam kaki |
Dari sana kami lanjut naik minibus lainnya ke air terjun Naena-taki. Tidak jauh dari tempat parkir tempat kami turun, kami menemukan sebuah restoran yang menjual mie dengan cara yang tidak biasa yaitu nagashi somen. Mie meluncur melalui pipa panjang terbuka dari bambu sementara konsumen harus sigap menangkap mie yang sedang berjalan dengan sumpit, mencelupkannya ke bumbu, lalu memakannya.
Kami masih harus berjalan beberapa ratus meter lagi untuk sampai ke air terjun dengan melewati dua jembatan gantung. Di jembatan yang pertama kami melihat dari dekat arus deras di dataran berundak mengalir ke Sungai Seki sebagai limpahan dari Naena-taki. Saking dekatnya, suara air terdengar menggelegar seperti geledek. Sampai di lokasi air terjun, kami tidak bisa melihatnya terlalu jelas karena kabut. Namun, kami tidak merasa kecewa. Terkadang perjalanan itu sendiri yang menjadi tujuannya.
![]() |
Jembatan gantung menuju Naena-taki |
![]() |
Air terjun yang diselimuti kabut |
![]() |
Menyaksikan derasnya aliran air terusan dari Naena-taki |
Kembali ke tempat parkir kendaraan, kami menyadari sesuatu. Meski minibus tersedia di sana, namun jadwal keberangkatannya masih sangat lama. Supaya tidak menghabiskan terlalu banyak waktu, kami memutuskan untuk berjalan kaki ke tempat perhentian bus lainnya di Suginosawa Nishino, yaitu tempat kami kebablasan saat pertama kali naik minibus tadi. Namun, kami tidak berjalan mengikuti jalan raya tempat kendaraan lewat. Kami masuk jalan hutan yang sepertinya sudah tak terpakai. Jalan kaki tanpa ada kendaraan berseliweran memang enak, apalagi jika ditemani dengan pemandangan alam dan udara segar di sekitarnya. Masalahnya, kondisi jalanan ini sudah banyak yang ambles dan tergenang air. Alhasil, sepatu dan kaus kaki kami pun basah semua.
![]() |
Melewati jalanan becek dengan warna air coklat keoranyean yang pekat |
![]() |
Pemandangan alam nan asri kami dapatkan saat melintasi jalanan rusak |
Setelah berjalan sekitar 1,5 km melewati hutan dan sedikit rumah penduduk, akhirnya kami pun tiba di tempat pemberhentian bus Suginosawa Nishino. Di sini kami diperhadapkan pada dua pilihan; naik minibus kembali ke tempat semula atau lanjut naik ke atas hingga ke Sasagamine. Karena merasa tanggung sudah sampai di sini, kami pun memutuskan untuk lanjut ke atas. Masalahnya, minibus dengan rute ke Sasagamine tidak tersedia pada musim ini. Jadi, terpaksa kami harus mencoba melakukan hitchhike alias nebeng mobil yang kebetulan melintas.
Kami pun mengambil posisi yang enak untuk menghentikan kendaraan yang lewat dengan mengacungkan jari jempol ke arah jalan. Tak sampai lama, satu mobil pribadi berisikan pasangan suami istri berhenti. Menggunakan bahasa Jepang seadanya kami mencoba mengkomunikasikan destinasi kami. Dengan ramah, mereka pun mempersilahkan kami masuk ke mobilnya dan membawa kami melalui jalan yang berkelok-kelok hingga ke Sasagamine Dam.
Sesampainya di sana, kami berterima kasih pada pasangan suami istri itu lalu langsung berjalan menuju ke Otomi Lake tempat bendungan air berada. Fokus kami di sini bukan ke bendungannya tapi lebih kepada pegunungan yang menyajkan pemandangan salju di musim panas. Kami duduk terpukau di pinggiran danau sambil mengeringkan alas kaki kami yang basah kuyup akibat melewati jalan becek tadi.
Kembali ke tempat parkir, satu-satunya orang yang ada di sana adalah seorang nenek penjaga tempat wisata ini. Kami pun duduk-duduk ngobrol dengan nenek itu menggunakan bahasa Jepang yang sangat terbatas. Dengan baik hati, iapun membagi sedikit makanan ringan yang cukup untuk menahan rasa lapar kami. Terlebih dari itu, nenek ini juga menawarkan tumpangan saat jam 3 sore nanti ketika shift jaganya berakhir. Jadi, kami lanjut duduk-duduk dan ngobrol-ngobrol di sana hingga waktunya tiba menebeng mobilnya turun kembali ke pusat kota Myoko Kogen.
Begitu tiba di kota, kami langsung dibawa ke sebuah rumah makan di dekat Myoko Kogen Sports Park. Di sana kami diperkenalkan pada teman-teman sebayanya si nenek termasuk suami istri yang mengelola rumah makan tersebut. Rumah makan ini kelihatannya cukup popular di kalangan turis domestik. Meski saat itu sedang tidak ada pengunjung lainnya, karena bukan high-season dan memang sudah bukan waktunya makan siang, tapi foto-foto beserta tanda tangan yang terpampang di dinding restoran menunjukkan bahwa banyak orang terkenal pernah makan di sini. Kami pun disajikan menu set katsu andalan restoran ini. Satu orang membayar tidak sampai seribu yen, termasuk murah untuk ukuran Jepang. Kami pun sangat puas dengan cita rasa makanannya. Ditambah lagi, pemilik rumah makan memberikan kopi secara cuma-cuma. Selesai makan, kami diantar oleh nenek yang tadi sampai ke stasiun kereta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar