Inilah surga yang bersembunyi itu |
Inilah lanjutan cerita perjalanan kami ketika liburan akhir pekan panjang dalam bulan-bulan terakhir keberadaan kami di tanah Maluku. Eksplorasi kami kali ini adalah yang terjauh yang pernah kami jalani. Pada posting sebelumnya, telah diceritakan bahwa untuk sampai ke titik terjauh tersebut, kami harus singgah terlebih dahulu di sebuah kota mungil bernama Masohi.
CARA KE SANA
Ada dua cara untuk pergi ke Masohi dari Ambon yang bisa Anda lihat di sini. Dari Masohi, kami cukup naik mobil Sawai yang berpangkalan di seberang Masohi Plaza. Mobil Sawai ini seperti taxi Maluku pada umumnya, yaitu mobil pribadi yang biasanya adalah Toyota Avanza. Namun kendaraan ini sebenarnya bukanlah taxi yang diprivatisasi untuk rombongan sendiri. Pada saat itu kebetulan saja memang hanya kami berdua yang menumpang ke Sawai. Satu orang penumpang dikenai biaya Rp 100,000 saja. Biaya ini jauh lebih murah dibandingkan sengaja menyewa mobil untuk pergi ke Sawai.
SEPANJANG PERJALANAN
Bertolak dari Masohi, mobil berangkat menuju arah kami datang, melewati warung makan tempat kami makan siang kemarin. Di pertigaan Waipia, mobil berbelok ke utara. Dari situ kami menempuh kurang lebih 3 jam perjalanan dengan jalan gunung yang melingkar-lingkar, terutama ketika sudah memasuki Taman Nasional Manusela. Warga Maluku lebih suka menyebut dengan nama gunung SS karena jalan-jalan di sana sangat berliku seperti huruf S dan parahnya lagi menanjak curam. Inilah alasan mengapa kami tidak membawa motor sendiri untuk menempuh perjalanan ke Sawai.
Sebelum memasuki area Taman Nasional Manusela yang ditandai oleh sebuah gapura, kami melihat sebuah gunung indah yang menjulang amat tinggi. Di sini pula terdapat beberapa kedai makan dan penjual bensin eceran. Sepanjang jalan ke depan tidak ada lagi orang berjualan. Jadi sebaiknya persiapkan segalanya di sini sebelum melanjutkan perjalanan.
Bertolak dari Masohi, mobil berangkat menuju arah kami datang, melewati warung makan tempat kami makan siang kemarin. Di pertigaan Waipia, mobil berbelok ke utara. Dari situ kami menempuh kurang lebih 3 jam perjalanan dengan jalan gunung yang melingkar-lingkar, terutama ketika sudah memasuki Taman Nasional Manusela. Warga Maluku lebih suka menyebut dengan nama gunung SS karena jalan-jalan di sana sangat berliku seperti huruf S dan parahnya lagi menanjak curam. Inilah alasan mengapa kami tidak membawa motor sendiri untuk menempuh perjalanan ke Sawai.
Sebelum memasuki area Taman Nasional Manusela yang ditandai oleh sebuah gapura, kami melihat sebuah gunung indah yang menjulang amat tinggi. Di sini pula terdapat beberapa kedai makan dan penjual bensin eceran. Sepanjang jalan ke depan tidak ada lagi orang berjualan. Jadi sebaiknya persiapkan segalanya di sini sebelum melanjutkan perjalanan.
Tugu inilah yang menjadi patokan kami di pertigaan Waipia |
Gunung batu hijau yang menjulang amat tinggi |
Ketika kami tiba di dataran yang lebih tinggi lagi di Gunung SS turunlah kabut. Ini yang membuat jalur tersebut berbahaya untuk dilewati orang yang kurang berpengalaman. Konon terkadang beberapa burung kasuari turun ke jalan. Ukuran mereka yang cukup besar berpotensi menimbulkan kecelakaan pada kendaraan yang menabraknya. Tapi kali ini kami tidak melihat satupun. Kami tak terlalu gentar dengan keangkeran gunung ini karena supir kami adalah penduduk Sawai yang setiap hari memang bolak-balik melewati jalur tersebut.
Setelah perjalanan panjang menembus Taman Nasional Manusela, kami pun hampir tiba di tujuan. Jika terus mengikuti jalan utama, kami akan tiba di Wahai, ibukota Kecamatan Seram Utara. Namun jika ingin ke Sawai, kami harus keluar dari jalan aspal melewati jalan berbatu selama 15 menit. Mobil ini mengantar kami hingga tepat di Penginapan Lisar Bahari, satu-satunya penginapan di desa itu. Untuk ke sana, kami terlebih dahulu harus melewati jalan-jalan sempit Desa Sawai yang hanya muat pas untuk satu mobil saja.
Kabut menyelimuti jalan di Gunung SS |
Jalan berbatu yang membawa kami ke Desa Sawai |
Jalan sempit Desa Sawai yang dilalui mobil yang kami tumpangi |
![]() |
Tempat cuci umum warga Desa Sawai |
Begitu menginjakkan kaki di Penginapan Lisar Bahari, Sawai, kami langsung disambut hangat oleh Pak Ali, pemiliknya. Ia bahkan merelakan salah satu dari durian yang bertebaran di situ secara cuma-cuma. Kristin langsung saja kalap dan menyikat duren tersebut. Kalau saya sendiri sih kebetulan gak suka duren. Oiya, duren di Maluku khususnya Seram harganya murah-murah sekali loh! Pokoknya penggemar duren mesti dateng ke sini kalau lagi musimnya.
Desa Sawai dari laut |
Salah satu pondok di Penginapan Lisar Bahari, Sawai |
Penginapan Lisar Bahari dari laut. Ada sejumlah pondok besar di sini yang terdiri atas beberapa kamar. Pada saat kami menginap di sana, beberapa pondok lagi sedang dibangun. |
Merasakan uniknya penginapan ini, kami langsung melupakan segala penat dalam perjalanan tadi. Setelah kamar selesai disiapkan, kami pun dipersilahkan check-in. Kami tak beristirahat lama-lama karena waktu kami yang sempit begitu berharga. Praktis kami hanya menaruh barang di dalam kamar penginapan, kemudian kami langsung menyewa long boat ke Ora Beach. Perahu tersebut diisi oleh dua awak dan penumpangnya hanya kami berdua. Eksklusif sekali rasanya! Di tengah jalan, kami melihat tebing-tebing terjal nan elok. Pokoknya perjalanan ini tidak bakal membosankan deh. Selain hanya sekitar dua puluh menitan, pemandangan yang luar biasa juga akan membuat waktu terasa cepat berlalu.
Tebing-tebing terjal yang menjadi tontonan kami sepanjang perjalanan ke Ora. |
Tebing-tebing yang lebih landai namun lebih hijau pula. |
Berkabut di bagian atas tebing. Bayangkan betapa dinginnya di atas sana. |
Kami berdua di atas sebuah long boat. |
Tiba di Ora Beach Resort yang cantik, kami tak buru-buru nyebur ke air. Sebelum basah kami ingin berfoto-foto ria di sini. Penginapan ini memang kelihatan lebih elegan daripada yang kami tempati, namun pastinya menginap di sini lebih mahal. Harga per malam berkisar 700 ribuan per malam untuk kamar di pantai dan 1 jutaan per malam kamar untuk pondok di atas laut. Sedangkan di Lisar Bahari satu orang hanya perlu membayar 250 ribu per malam. Di kedua penginapan ini nampaknya harga tidak dihitung per kamar tetapi per kepala.
Selepas berfoto-foto, kami akhirnya nyemplung untuk snokelling di sana dengan peralatan yang telah disediakan oleh awak long boat tanpa biaya tambahan. Kekayaan laut Maluku memang luar biasa! Terumbu karang dan ikan yang berwarna-warni menghiasi dasar laut yang kami intip. Bahkan tanpa snorkelling pun, kami bisa melihat dengan jelas ke dasar laut pada kedalaman tertentu karena air lautnya sangat jernih.
Ora Beach Resort |
Pondok ini adalah cafe-nya Ora Beach Resort |
Ora Beach Resort dari kejauhan |
Setelah puas main di Ora Beach, kami pun dibawa ke spot lain untuk menikmati pemandangan bawah laut. Spot ini berada di samping tebing terjal yang tadi kami saksikan dalam perjalanan ke Ora. Di sini memang indah, tapi sayangnya kami terlalu amatir untuk bersnorkell di tempat sedangkal ini. Kaki kami seringkali tertusuk karang. Kembali ke Penginapan Lisar Bahari dengan hati yang gembira, kami mandi dan istirahat. Kemudian jam 20.00, kami menikmati makan malam gratis di penginapan. Ya, harga yang kami bayar sudah termasuk tiga kali makan dan teh kapan saja. Hanya saja karena kami tiba terlalu sore tadi, kami kelewatan makan siangnya. Suasana makan malam cukup ramai karena ada segerombolan tamu lain yang mendominasi area makan.
Esok paginya, kami bangun sebelum matahari menampakkan diri. Penginapan berubah sepi. Tamu-tamu yang tadi malam makan bersama kami tampaknya sudah check-out subuh tadi. Sambil menunggu sunrise dan sarapan, kami menikmati memberi makan ikan-ikan di laut. Begitu matahari tampak keluar dari belakang bukit, ia langsung menembakkan cahayanya yang silau sekali. Sekarang dengan penerangan sinar matahari, kami dapat melihat pemandangan bawah laut lebih jelas lagi. Bahkan kami dapat melakukanya tanpa keluar dari kamar, cukup dengan menengok keluar jendela kamar.
Tinggal di atas laut memang mengasyikkan sekali. Sayangnya waktu kami sempit. Supir yang kemarin mengatarkan kami sudah datang menjemput untuk kembali ke Masohi. Sebelum meninggalkan penginapan, kami pun mesti membayar tagihan yang menunjukkan angka 700 ribu rupiah. Ternyata sewa long boat kemarin dikenakan biaya 200 ribu. Sebenarnya jika kami datang lebih dini dan dengan lebih banyak kawan akan lebih menguntungkan. Pertama datang dini berarti tidak kehilangan makan siang. Kedua, bersama lebih banyak teman berarti biaya sewa perahu bisa dibagi-bagi. Tapi, tak apa. Kami sudah cukup beruntung bisa datang ke tempat ini di jadwal kami yang ketat.
Menikmati pagi |
Jendela kamarku |
Melihat karang di dasar laut tanpa snorkelling. Menurut pemilik penginapan, biasanya kalau tidak habis hujan air laut terlihat lebih jernih lagi. |
Tidak hanya itu. Di pelabuhan Waipirit antrean amat panjang, melewati batas kewajaran. Ini akibat arus balik long weekend. Kami harus menunggu selama 3 jam hingga mendapat giliran terangkut. Sampai di Pulau Ambon sudah jam 20.00 lebih. Keadaan jalan dari Pelabuhan Hunimua menuju Tulehu gelap gulita karena kurangnya lampu penerangan jalan. Mulai dari Tulehu, barulah ada penerangan yang cukup lumayan. Badan kami hancur-hancuran gara-gara eksplorasi kali ini. Pemulihannya tidak cukup satu dua hari saja. Ya, inilah pengorbanan untuk menyicipi surga yang bersembunyi di utara Seram.
Posting Terkait:
-MASOHI, Kota yang Sunyi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar