Dan
perjalanan panjang kami telah sampailah kepada saat yang berbahagia
dengan
selamat sentosa menghantarkan kami ke depan pintu gerbang kepulangan
kami ke tanah air. Sebuah kisah sehari di Bangkok menjadi penutup manis
rentetan perjalanan yang bermula dari Maros-Makassar, kemudian ke
Malaysia-Singapore, lalu ke Kamboja ini.
Sekitar tengah hari, kami berangkat dari Siem Reap, Kamboja, menuju ke kota perbatasan Poipet. Minivan yang kami tunggangi menjemput kami langsung dari guesthouse tempat kami menginap. Perjalanan Siem Reap-Poipet memakan waktu sekitar tiga jam, namun kami tidak merasa bosan sama sekali karena sambil ngobrol seru dengan Bunnek, orang Kamboja ramah yang juga naik minivan itu. Sesampainya di perbatasan, sebenarnya belum terlalu telat untuk kami melintas ke Thailand, tapi kami memilih untuk menghabiskan malam di rumah sepasang bule couchsurfer yang cukup dekat dari pintu perbatasan. Inilah satu-satunya aksi couchsurfing kami selama kurang lebih dua minggu ini jalan-jalan, setelah sebelumnya kami hanya menginap di guesthouse dan hotel.
Sekitar tengah hari, kami berangkat dari Siem Reap, Kamboja, menuju ke kota perbatasan Poipet. Minivan yang kami tunggangi menjemput kami langsung dari guesthouse tempat kami menginap. Perjalanan Siem Reap-Poipet memakan waktu sekitar tiga jam, namun kami tidak merasa bosan sama sekali karena sambil ngobrol seru dengan Bunnek, orang Kamboja ramah yang juga naik minivan itu. Sesampainya di perbatasan, sebenarnya belum terlalu telat untuk kami melintas ke Thailand, tapi kami memilih untuk menghabiskan malam di rumah sepasang bule couchsurfer yang cukup dekat dari pintu perbatasan. Inilah satu-satunya aksi couchsurfing kami selama kurang lebih dua minggu ini jalan-jalan, setelah sebelumnya kami hanya menginap di guesthouse dan hotel.
Couchsurfing dalam arti yang sebenarnya, yaitu numpang tidur di sofa |
Bersama host kami Andre dan Whitney di Poipet |
Hari berikutnya pada jam 7 pagi, kami melintasi perbatasan Poipet-Aranyaprathet. Kondisinya sedang sangat padat, kebanyakan dipenuhi oleh pekerja asal Kamboja yang hendak pergi ke Thailand. Begitu menyadari bahwa kami bukanlah salah satu dari para pekerja itu melainkan turis, salah seorang petugas perbatasan langsung menawarkan 'jasa ekspres' secara terang-terangan. Meskipun kami menolak tawaran tersebut, tetap saja kami dipindahkan ke antrean turis yang jauh lebih pendek. Ini cukup membantu meskipun tidak menyelesaikan semua masalah yang ada. Sebab, antrean imigrasi masuk ke Thailand pun juga sangat panjang. Alhasil, di perbatasan ini kami membuang waktu sekitar dua jam.
Kalau saja proses melintasi perbatasannya lebih cepat, kami bisa menumpang bus kasino yang nyaman dan murah untuk ke Bangkok. Tapi sekarang kami harus mengambil pilihan lainnya, yaitu naik minivan lokal yang pangkalannya terletak beberapa ratus meter saja berjalan kaki dari pintu keluar imigrasi Aranyaprathet. Saya sebut minivan lokal karena transportasi ini sebenarnya lebih diperuntukkan bagi orang lokal, dapat dilihat dari tidak adanya tulisan berbahasa Inggris sama sekali di sana. Transportasi macam inilah yang benar-benar diharapkan oleh pelancong seperti kami yang selalu menyukai pengalaman otentik lokal daripada menjadi turis pada umumnya.