21 Juni 2014

SINGAKU [Bab 2]: Meninggalkan Jejak di Singapura

Masjid Sultan
Selama beberapa hari ini di Singapura, kami tinggal di area Bugis. Nama Bugis terdengar sangat familiar di telinga kami. Kami pun bertanya-tanya apakah kata ini mengacu pada salah satu suku di Indonesia. Setelah mencari tahu, ternyata memang benar kalau nama area ini diambil dari suku Bugis. Orang Bugis adalah pelaut-pelaut ulung yang berlayar dari asal mereka di Sulawesi hingga ke banyak tempat di nusantara termasuk Singapura. Mereka merupakan salah satu komunitas yang pertama-tama menempati area ini sebelum diikuti oleh komunitas-komunitas lainnya seperti orang Arab, Tiongkok dan India. Jejak kehadiran suku Bugis di area ini hampir tidak kasat mata, kecuali jika kita paham benar bahwa faktanya orang Bugis merupakan komponen terbesar dari bangsa Melayu di Singapura. 

Di Bugis inilah berdiri salah satu masjid terbesar di Singapura bernama Masjid Sultan yang merupakan peninggalan bersejarah orang-orang Melayu. Mereka membangun masjid ini secara kolektif. Beberapa dari mereka bahkan rela menjual tanah serta harta benda untuk menyumbang dana pembangunan masjid. Namun, pemerintah kolonial Inggris pun dikatakan memiliki andil besar dalam pembangunannya.

Selain masjid ini, ada pula peninggalan bangsa Melayu lainnya di area Bugis yaitu kompleks pemakaman Muslim tertua di Singapura yang terkesan agak terbengkalai. Nama dari jalan tempat hostel tempat kami menginap berada, Jalan Kubor, mengacu pada perkuburan ini.
Meninggalkan area Bugis, kami berjalan kaki ke Little India. Menyusuri Jalan Syed Alwi sekitar satu kilometer, kami akhirnya menemukan supermarket yang sangat terkenal, yaitu Mustafa Centre. Keistimewaannya tidak terletak pada interior maupun eksterior bangunannya yang biasa saja, tapi pada banyaknya jenis barang yang dijual dan jam bukanya yang 24 jam nonstop. Di sini ada ratusan ribu barang, termasuk oleh-oleh, dengan harga terjangkau.

Dibanding ke stasiun MRT Little India, Mustafa Center lebih dekat ke MRT Farrer Park. Di stasiun inilah yang menjadi titik janjian ketemuan kami dengan para peserta yang diberikan waktu bebas untuk berbelanja di Mustafa Center. Ada beberapa peserta yang datang lebih cepat dari waktu yang disepakati sehingga mereka mesti menunggu beberapa saat. Permasalahannya, mereka menunggu sambil lesehan di lantai dan sambil menikmati makanan yang dibawa sendiri. Meski ini mungkin sesuatu hal yang normal dilakukan di negeri kami, tapi di Singapura makan di area stasiun dilarang dengan alasan kebersihan. Banyak hal lainnya yang dilarang di negeri ini, seperti membuang ludah sembarangan maupun memakan permen karet. Ada denda menanti bagi para pelanggarnya. Itulah mengapa Singapura juga dikenal sebagai Kota Denda/Fine City. Untungnya pada saat itu, pelanggaran peserta tur kami masih dimaklumi oleh petugas stasiun yang hanya memberikan peringatan lisan semata.

Mustafa Centre
Naik MRT ke Stasiun Harbourfront yang terhubung langsung dengan mal Vivo City, kami membawa para peserta tur ke taman atap mal agar mereka dapat melihat Pulau Sentosa sebelum menyebrang ke sana. Menjadi salah satu rooftop garden terbaik di Singapura, taman ini tidak hanya menyuguhkan pesona Pulau Sentosa dari seberang, tapi juga memiliki empat kolam renang berukuran standar Olimpiade. Tapi banyak orang melewatkan taman atap ini karena mereka ingin buru-buru ke Pulau Sentosa yang pastinya menawarkan jauh lebih banyak atraksi menarik.

Ada berbagai macam cara untuk menyeberang ke Pulau Sentosa; monorail, kereta gantung, bus umum, kendaraan pribadi, dan jalan kaki. Yang paling murah tentunya adalah dengan berjalan kaki melalui Sentosa Broadwalk, jembatan khusus orang yang dilengkapi atap serta travelator seperti layaknya di bandara. Di ujung jalan ada gerbang tiket seperti ketika masuk ke stasiun namun kondisinya dinonaktifkan, artinya pejalan kaki tidak perlu bayar sepeserpun ketika masuk ke Pulau Sentosa jika melalui jalur ini. Selain gratis, hal terbaik ketika memilih opsi lewat Sentosa Broadwalk yaitu bisa puas menikmati pemandangan dan befoto ria. Hal ini tidak dapat dilakukan ketika naik monorail maupun bus umum. 
Akses termurah menuju Pulau Sentosa
Pemandangan dari Sentosa Broadwalk
Pada kesempatan sebelumnya, kami datang ke pulau ini pada malam hari ketika segala sesuatunya sudah tutup. Kali ini kami datang cukup dini di saat seluruh atraksi masih beroperasi. Tiga orang peserta tur memilih menghabiskan waktu mereka di Universal Studios Singapore (USS) dan sisanya pergi ke SEA Aquarium. Kedua atraksi ini memang yang paling banyak dikunjungi orang. Tapi sekalipun pengunjung pulau tidak masuk ke keduanya, ada satu ritual wajib yang mesti dilakukan, yaitu berfoto dengan bola dunia USS. Lokasinya yang berada di luar gerbang taman bermain memungkinkan siapa saja bisa mengambil foto dengannya. Namun kali ini perlu perjuangan untuk melakukannya karena pada pagi menjelang siang hari ada banyak sekali orang yang juga mau berfoto dan lagi panas mataharinya sangat menyengat. 
Selamat datang ke Pulau Sentosa
Bola dunia yang ikonik tepat di depan gerbang masuk USS.
Sekalipun tidak masuk ke dalam USS, wajib berfoto di sini.
Butuh berjam-jam bagi para peserta tur untuk benar-benar menikmati atraksi wisata yang mereka pilih. Pada beberapa jam itulah kami memiliki waktu bebas yang kami manfaatkan untuk bertemu dengan seorang teman yang bekerja di Singapura. Ini adalah teman yang batal memberikan kami tumpangan pada saat pertama kali kami datang ke Negeri Singa. Merasa tidak enak hati, ia mentraktir kami makan siang di dalam mal Vivo City. Teman kami ini, meskipun sudah cukup lama tinggal di Singapura, tapi belum hafal dengan seluk beluk isi mal Vivo City yang ternyata merupakan mal terbesar di negeri itu.
Ditraktir teman di sebuah restoran Perancis di dalam Vivo City
Pada sore hari, tiba saatnya kami meninggalkan Singapura. Rencananya kami mau naik bus ekspres dari Quenstreet Terminal ke Johor Bahru, Malaysia. Tapi, antrean tunggu bus di sana sedang panjang sekali mengingat saat itu adalah jam pulang kantor. Kebanyakan dari calon penumpang bus adalah orang Malaysia yang tinggal di Johor dan bekerja di Singapura. Setiap hari mereka bolak-balik lintas negara naik bus ekspress itu. Cukup bisa dipahami, karena biaya hidup di Johor dan Singapura berbeda jauh. 

Menghindari antrean panjang, kami memutuskan untuk menggunakan cara lain ke Johor, yaitu dengan naik MRT ke Kranji lalu lanjut naik bus untuk menyeberangi Causeway Bay yang merupakan jembatan penghubung antara Singapura dan Johor, Malaysia. Setelah makan malam, kami menjalankan rencana cadangan ini. Perjalanan memakan waktu lebih lama daripada naik bus ekspres yang kurang dari 1 jam lewat jalan bebas hambatan. Akibatnya, kami jadi terburu-buru mengejar kereta malam yang berangkat dari Johor Bahru ke Kuala Lumpur. Hanya tiga dari kami yang berhasil mendapat tiket kereta, mereka akhirnya keburu naik kereta di saat-saat terakhir sebelum kereta diberangkatkan. Sementara kami yang kehabisan tiket kereta naik bus dari Terminal Larkin untuk ke KL. Kereta malam vs bus, siapa ya kira-kira yang sampai KL duluan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Peta Dunia TRAVELdonk

Peta Dunia TRAVELdonk