Sepanjang
jalan pinggir kali yang kami tempuh basah akibat hujan yang barusan turun. Kepalaku melongok keluar jendela, masuk ke tengah-tengah udara luar yang menyegarkan. Dari jauh kulihat
seekor kupu-kupu raksaksa. "Kita sampai!" teriakku spontan. Ya, setelah
perjalanan yang cukup lama menggunakan pete-pete (angkot) dari pusat kota Maros,
akhirnya kami sampai di Taman Nasional Bantimurung, tempat wisata yang
paling terkenal dan telah menjadi ikon di Maros.
Setelah mengunjungi Desa Berua siang hari yang cukup panas tadi, kami kembali ke kota Maros dan memanjakan diri kami untuk menikmati es krim dan minuman dingin. Eh, tau-taunya langit langsung berubah mendung. Kami pun bergegas menuju ke pertigaan tempat pete-pete jurusan Bantimurung. Sempat salah masuk pertigaan, kami harus naik becak untuk ke pertigaan yang benar.
Angkot yang kami tumpangi menurunkan kami tepat di tempat parkir kendaraan dekat loket masuk. Untunglah, tadinya aku sempat berpikir harus jalan kaki ratusan meter dari kupu-kupu raksaksa di depan. Harga masuk Taman Nasional Bantimurung ini ternyata cukup mahal, Rp 20.000 per satu turis lokal. Namun karena kami sudah jauh-jauh datang ke sini, jadi kami tetap masuk.
Tempat parkir Taman Nasional Bantimurung yang pinggirnya ditempati oleh para pedagang |
Tak
seberapa jauh setelah berjalan melewati loket masuk, kami
menemukan Kolam Jamala di sebelah kiri. Warna air di kolam yang kebiruan ini cukup
tak wajar menurut kami. Konon, kolam ini merupakan tempat mandi para
bidadari sehingga kolam ini disebut juga telaga bidadari. Air dari kolam
ini dipercaya memiliki khasiat obat yang dapat menyembuhkan berbagai
macam penyakit, membuat enteng jodoh dan menghindarkan seseorang dari ilmu
sihir. Setidaknya untuk kami, air ini memang manjur untuk membuat wajah lusuh kami kembali segar
Mengambil air Kolam Jamala untuk menyeka wajah |
Di dekat situ, terdapat jembatan menuju museum kupu-kupu. Kupu-kupu memang
merupakan ikon dari tempat ini. Bantimurung sendiri sering disebut
sebagai The Kingdom of Butterflies. Namun sayang di musim penghujan seperti
ini kupu-kupunya tidak sebanyak mestinya. Untuk masuk ke Museum & Penangkaran Kupu-Kupu harus membayar Rp 5.000 lagi per orang.
Berada di Kerajaan Kupu-Kupu |
Jembatan menuju Museum dan Penangkaran Kupu-Kupu |
Air Terjun Bantimurung, yang tak terlalu terkena dampak musim, menjadi atraksi utama di kawasan taman nasional ini. Air terjun ini boleh dibilang unik karena lebar dan pendek tetapi arusnya deras. Banyak
sekali orang yang bermain basah-basahan di dekat air terjun itu. Ada pula yang terlihat enggan basah dengan melipat celana panjangnya berjalannya ke dekat air terjun hanya untuk berfoto-foto ria.
Persis di samping air terjun, ada tangga ke atas yang dari situ kami dapat melihat Air Terjun Bantimurung dengan pandangan seekor burung. Tangga itu juga akan
membawa kami ke jalan menuju gua-gua prasejarah. Dari info yang kami
dapatkan untuk memasuki gua tersebut tidak ada tiket masuk lagi, namun harus
menyewa guide beserta senternya dengan harga yang cukup mahal. Kami yang sudah basah kuyup, bukan
karena hujan tapi karena keringat, memutuskan untuk kembali. Selain kehabisan tenaga, hari sudah
hampir gelap. Kami takut tidak mendapat pete-pete untuk kembali ke kota
Maros.
Air Terjun Bantimurung |
Jalan menuju gua-gua prasejarah |
Beberapa pedagang setempat yang kami tanyai bilang terkadang kalau sudah sore seperti ini tidak akan ada kendaraan umum yang masuk sampai area dalam. Namun kami
beruntung masih bisa mendapat pete-pete dari tempat parkir tempat kami diturunkan tadi. Sebenarnya ini adalah pete-pete yang sedikit menyimpang dari rute. Mobil ini
menuju tempat wisata populer lainnya, yaitu Taman Prasejarah Leang-Leang karena sudah waktunya bagi sang supir yang adalah penduduk setempat untuk
pulang.
Gerbang masuk Taman Prasejarah Leang-Leang ada di pinggir jalan
raya menuju Taman Nasional Bantimurung, tepat di seberang Bendung
Batubassi. Kami turun di jalan raya kemudian lanjut ke kota Maros menggunakan pete-pete yang lain. Kami memutuskan tidak ikut ke sana karena takut
kesulitan transportasi pulang. Kami sisakan tempat itu untuk kunjungan
berikutnya.
Jembatan tua yang tidak menuju kemanapun di Taman Nasional Bantimurung |
Tersedia cottage di Taman Nasional Bantimurung |
Setibanya di Kota Maros, kami harus menyambung naik pete-pete lainnya menuju Daya. Menembus macetnya jalan raya yang menghubungkan Maros dengan Makassar menambah tingkat kelelahan kami. Tiba di hotel tempat kami menginap, kami tidak langsung masuk. Mata kami langsung tertuju pada warung makan yang ada di seberang. Kami seberangi jalan raya yang ramai plus macet tersebut. Hari ini kami tutup dengan santap malam coto Makassar yang dilengkapi dengan buras dan tidur yang nyenyak. Ini baru permulaan karena besok kami akan menuju Makassar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar